Di akhir liburan semester kelas XI SMK, aku dijemput Abah.
Hari itu panas terik, tapi kata Abah, beliau ingin
mengantarkanku kembali ke asrama sekolah. Aku saat itu tidak pernah tahu bagaimana
cara menjawab pertanyaan itu karena jujur saja: kami tidak pernah dekat.
Makna ‘dekat’ ini mungkin berbeda dengan orang lain
kebanyakan, yang mungkin saja ‘jauh’ yang mereka maksud adalah sulit membuka
diri dan membagikan perasaan satu sama lain. Namun, ‘tidak dekat’ yang kumaksud
disini adalah aku merasa kalau sosok Abah adalah orang asing. Orang yang hanya
terhubung secara biologis denganku, tidak kurang dan tidak lebih.
Ikatan emosional? Duh, sayang, aku umur segitu mana paham parenting. Yang aku pahami, lelaki di dunia ini harus diwaspadai, mereka semua mungkin saja serigala? Yah, semacam itulah. Aku tidak tertarik dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Dan itu semua mungkin karena Abah.
Hari itu aku malas sekali. Kupikir, lebih baik kalau aku naik taksi sendirian ke Banjarmasin saja seperti biasa, tapi menolak keinginan Abah juga aku tidak kuasa. Abah adalah orang paling keras kepala sedunia, kalau kata Abah A, ya Abah akan melakukan A. Dan mungkin karena itulah, hari itu aku akhirnya entah bagaimana caranya bisa naik ke dalam Jeep milik Abah.
Ya Allah, sampai hari ini aku masih ingat betapa kikuk dan
canggungnya aku saat naik ke mobil itu. Belum apa-apa sudah menguar aroma
tembakau dan cengkeh yang pekat dari asbak, benar-benar bau rokok khas Abah.
Aku tidak suka bau itu. Aku juga tidak suka bertemu Abah. Setiap kami bertemu,
Abah selalu memelukku dengan erat dan menciumku dengan barbar. Apa beliau lupa
kalau aku ini kan anak perempuan, aku juga sudah besar. Pelukannya membuatku
sesak nafas dan ciuman seperti itu menyakitiku karena Abah jarang mencukur
bersih janggut dan kumisnya. Selalu ada bagian tajam yang tumbuh dan menusuk
pipiku. Aku tidak suka perasaan sesak dan tertusuk itu.
3 jam ke Banjarmasin, aku meyakinkan diriku sendiri untuk
tenang dan diam saja sepanjang perjalanan. Tapi Abah entah kenapa cerewet
sekali, bertanya a,b,c kemudian bercerita hal-hal yang tidak aku mengerti, aku
malas dan tidak tahu harus menjawab apa sehingga responku hanya mengiyakan atau
mengangguk saja. Kalau diingat-ingat lagi, itu benar-benar komunikasi satu arah
yang payah. Aku adalah pihak yang sama sekali tidak memberi umpan balik.
Dan hasilnya? Abah marah.
Iya, aku masih ingat Abah marah dan mengomel kenapa aku diam
saja. Yah, mengomel bukan gaya marah Abah, jadi wajar saja kalau kemudian Abah
menghempaskan pintu mobil sampai… copot. Lagi-lagi, aku memakluminya. Hal
semacam ini bukan sesuatu aneh untuk Abah yang kekuatan fisiknya di atas orang
rata-rata sampai dijuluki ‘jagoan’. Tapi mobil Jeep itu juga sudah tua dan
sepertinya kurang maksimal perawatannya, jadi ya mungkin juga karena mobil ini
ada mur atau bautnya yang lepas? Aku tidak tahu yang mana penyebabnya, tapi saat
itu pintunya copot.
Aku panik. Seakan lupa kalau Abah bisa menjelma apa saja, termasuk
jadi montir dadakan. Dan berbekal beberapa peralatan yang disimpan Abah dibawah
jok, pintu itu bisa kembali pada tempatnya.
Kami pun melanjutkan perjalanan dalam keheningan. Menyelam
dalam pikiran masing-masing. Hanya berselang 5 menit kemudian, Abah mengajakku
untuk makan siang terlebih dahulu. Mobil pun menepi di sebuah warung di tepi
sungai.
Abah adalah pribadi yang royal, Abah tidak pernah segan
untuk memberikanan makanan terbaik dan paling mahal untuk kami anak-anaknya.
Hanya saja melihat pilihan hari itu, Abah cukup sederhana, Nila panggang, sayur
gangan, sambal, dan nasi panas serta tak lupa segelas besar teh es. Kami berdua
mengisi perut dengan lahap sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan kembali.
Berbeda dengan tadi, di sisa 1 jam menuju Banjarmasin, aku
membuka suara dan mulai bicara, meskipun suaraku bergetar dan masih tidak bisa
membuang perasaan canggung, aku memaksakan diriku untuk bicara. Apakah yang
kubicarakan beliau mengerti atau tidak, itu tidak penting. Aku cuma tidak mau
Abah marah lagi. Ya, hubungan kami berdua memang hubungan yang aneh dan tidak
hangat seperti itu.
Abah tampak senang dan bicara panjang kali lebar kalau aku
harus makan supaya punya tenaga, paling tidak untuk bicara. Aku ingat, hari itu
Abah juga bertanya tentang kabar Mama, dan kujawab kalau kondisi Mama baik-baik
saja. Sulit sekali menerjemahkan makna pandangan Abah saat itu, entah apakah
Abah menyesal? Aku tidak tahu dan tidak memikirkannya saat itu. Mereka berpisah
saat aku masih kecil, memori dan lukanya masih jelas. Tapi itu sama sekali
tidak penting untukku.
Di depan pagar sekolah, aku turun sambil membawa ransel
hitamku, bersiap untuk masuk ke dalam asrama yang ada di ujung sekolah. Sesudah
bersalaman dengan Abah, lagi-lagi aku dipeluk dan dicium seperti anak TK.
Sebal, tapi agaknya sudah berkurang kesalnya karena pembicaraan satu jam
terakhir agak mencairkan suasanan.
Sore itu kami berpisah. Abah melanjutkan perjalanannya ke
Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu. Dan aku akan meneruskan semester yang baru
sebagai anak SMK di Banjarmasin.
Sore itu benar-benar perpisahan.
Itu adalah adalah
pertemuan kami yang terakhir.
“Hati-hati di jalan~” 🎵🎵
Lagu Tulus yang sempat viral beberapa waktu yang lalu itu memiliki
kesan berbeda denganku setiap kali mendengarnya. “Hati-hati di jalan” adalah
kata-kata yang ingin aku ucapkan pada Abah sebelum kami berpisah sore itu.
Kata-kata yang meskipun tidak ada kalimat tegas seperti “aku, putrimu ini
menyayangimu”, atau “Aku rindu padamu” tapi tetap bermakna dalam dan menunjukkan
bahwa aku selalu berharap kalau Abah selalu dilindungi oleh Tuhan dan
ditunjukkan serta dimudahkan menuju ke jalan yang lurus dimanapun Abah berada.
Belakangan aku mengucapkan ini setiap kali berpisah dengan orang-orang yang
dekat denganku.
Aku juga makan dan hidup dengan baik, aku sudah belajar
bicara dengan orang lain. Aku tidak lagi membuat seseorang mencopot pintu mobil
hanya karena emosi denganku. Mungkin aku sudah berubah banyak kalau
dibandingkan dengan aku di tahun itu, meskipun masih canggung dan kikuk tentu
saja.
Abah sudah menghadap Allah di bulan baik, di hari ke 10
bulan Ramadhan beberapa bulan kemudian sesudah perpisahan kami karena penyakit
yang diderita beliau. Abah tidak sakit terlalu lama, tapi justru itu yang
mengejutkan karena sekonyong-konyong, di tengah-tengah jam pelajaran ada
panggilan dari ruang guru untukku. Berita buruk yang susah dicerna dengan emosi
anak-anak milikku itu akhirnya sampai. Aku tidak tahu emosi apa yang seharusnya
kurasakan saat itu.
Kita tidak pernah dekat, ya, Abah? ☺️
Putri bungsumu ini cengeng dan tidak pandai bicara sepertimu. Nanti kalau kita dipertemukan Tuhan disana Abah harus mengajariku supaya jadi setegas Abah ya? hehe.
Saat ini aku
akan hidup dengan baik dan menjalani semua sebaik-baik aku bisa.
Mungkin bulan depan aku akan mengambil cuti kerja supaya
bisa mengunjungimu lagi di pusara.
Sampai jumpa.
Al-.fatihah dari putri bungsumu
Post a Comment