Dulu orang-orang bundir cuma ada di televisi. Kasus bundir pertama saya baca muncul di komik Jepang yang dibawa Abang saya ke rumah serta majalah Intisari milik almarhum kakek yang berlatarkan negara Jerman. Saya sama sekali tidak menyangka 20 tahun kemudian, bunuh diri menjadi berita yang bisa saja muncul di koran lokal dan bahkan grup WhatsApp. Pelakunya bukan cuma orang luar negeri lagi, tapi Warga Negara Indonesia. Dan kadang bukan orang jauh, bisa saja circle orang yang kita kenal.
Tidak bisa dipungkiri, pressure untuk bisa bertahan di masa sekarang ini begitu keras. Belum lagi hantaman badai pandemi beberapa tahun belakangan ini meluluhlantakkan banyak usaha yang sudah dibangun orang dengan susah payah. Banyak pengusaha yang bangkrut dan gulung tikar.
Tidak heran kalau berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), angka kasus gangguan jiwa dan depresi meningkat hingga 6,5% secara nasional di Indonesia selama era pandemi ini. Semua orang berusaha bertahan dengan berbagai cara dan copingnya masing-masing. Ada yang bisa bertahan, ada yang tidak. Ada yang depresinya nampak ke permukaan, ada yang pintar menyembunyikannya.
Laporan Bank Dunia menunjukkan, tingkat bunuh diri di Indonesia mencapai 2,4 per 100 ribu penduduk. Artinya, terdapat 2 orang yang melakukan bunuh diri dari setiap 100 ribu penduduk di Indonesia. Banyak, ya?
Kasus Sulli ex f(x) tahun 2018.
Kasus Jonghyun SHINee tahun 2019.
Kasus Haruma Miura tahun 2020.
Ketiganya adalah seniman yang sering saya lihat sejak saya masih remaja dan usianya kurang lebih seumuran dengan saya.
Kalau sudah begini, bagaimana seharusnya kita bersikap?
Jika menonton 13 Reason Why, maka kita akan tahu kalau suatu keputusan besar yang diambil setelah banyak kejadian. Pemicunya mungkin satu, tapi dibalik itu ada banyaaak sekali alasan yang berlapis tumpang tindih. Tapi selalu ada pemantik utama yang membuat keputusan mengerikan seketika mengambil alih action.
Kalau di Indonesia, kasus Casa Grande, ada yang ingat?
Pelaku bundir meninggalkan catatan di google Drive yang bisa dibaca publik. Basicly dari yang aku baca di notes itu, pelaku sebenarnya cerdas dan dia tahu kalau keluarganya pun menyayanginya, ibunya selalu memasak dan membuatkan bekal ditengah tengah-tengah bekerja. Meskipun katanya bekal sederhana, sebagai ibu bekerja, bekal itu bentuk kasih sayang yang dibuat juga pakai waktu pikiran dan tenaga :')
Ayahnya mengirimnya bersekolah ke sekolah keagamaan seolah memahami anaknya yang kesulitan sebagai minoritas di Indonesia. Such a little and lovely family.
Again, karena cerdas dan pemikir, pelaku terlalu banyak berpikir dan di catatan yang dia buat dia menjadi mempertanyakan segalanya. Seakan-akan dia tercekik dengan pikirannya sendiri.
Anyway, hidup memang tidak sempurna. Menjalani kehidupan ini kita harus banyak-banyak 'melewatkan' hal yang memberatkan hati, nggak semuanya harus 'dimasukin' dalam hati. 365 hari dalam setahun dan mungkin berapa hari diantaranya adalah hari yang berat dan rasanya besok sudah tidak ada lagi harapan baru, tapi, semua orang pernah merasakannya. Jangan overthinking, beri jeda untuk hati untuk memproses perasaan.
Sebagai penutup, untuk kita muslim. Bunuh diri adalah kedurhakaan terhadap Allah. Takut banget amal ibadah yang baru seuprit dikumpulkan ini tiba-tiba dianggap hangus sedangkan dosa yang segunung ini malah jadi berlipat ganda. Tidak bisa kemana-mana karena jiwa terperangkap di dunia.
Nauzubillah min Dzalik.
(Ini mengetik beneran rasanya buat diri sendiri karena pengingat di gambar di bawah ini rasanya jleb banget, perjalanan benar-benar masih panjang ðŸ˜)
Dan seperti yang aku pernah baca di post orang yang lewat di timeline ku; Jika kamu punya keberanian untuk mengakhiri hidup, gunakanlah keberanian itu untuk bertahan hidup dan menjalaninya sebaik mungkin. Semangat!